Senin, 14 Juli 2008

Mencari Wajah Baru PKS

Selasa, 05/02/2008

Tidak banyak partai baru yang bisa bertahan dalam era politik “tarung bebas” sekarang ini. Di antara partai politik baru yang mampu bertahan itu, yang paling menarik adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

PKS merupakan partai menarik karena banyak alasan. Pertama, ia besar karena bertumpu pada kemampuan berorganisasi, bukan pada karisma seorang tokoh tertentu. Kedua, ia didominasi anak-anak muda yang rata-rata berpendidikan tinggi dan bersemangat tinggi. Ketiga, ia berasal dari sebuah gerakan sosial yang kental dengan nuansa agama sehingga disebut juga sebagai “gerakan dakwah”. Keempat, ia (sempat) mewarnai politik Indonesia dengan “politik program” -program bersih dan peduli-, sesuatu yang terasa menyegarkan di tengah politik Indonesia yang didominasi jargon, bahkan tipu muslihat kepada rakyat.

Masa hidup PKS juga menarik untuk dicermati. Masa hidup itu mungkin bisa dibagi ke dalam empat periode besar.

Meminjam periode hidup manusia, mungkin kita sebut periodisasi tersebut sebagai periode kandungan, periode balita, periode remaja, dan periode dewasa muda. Periode kandungan adalah masa-masa ketika PKS belum menjadi partai politik dan masih berbentuk gerakan sosial keagamaan yang disebut Tarbiyah atau Usrah sebagaimana disinggung di atas.

Pada periode itu, banyak kader utama PKS yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa. Mereka belajar keterampilan di kampus sambil belajar agama di bawah bimbingan para murabbi atau mentor yang membimbing mereka bukan hanya dalam soal kuliah, namun juga karir dan masa depan.

Kader-kader muda itu umumnya gelisah dengan nasib bangsa dan kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, namun terbelakang. Mereka mencita-citakan masyarakat Indonesia yang maju dalam sains, ekonomi, dan teknologi, namun tetap religius dalam hidup keseharian.

Gerakan reformasi 1998 membuka peluang bagi kader-kader dakwah itu dari peran-peran yang bersifat sosial keagamaan menjadi gerakan politik. Dimulai dengan kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang tiba-tiba jadi organisasi mahasiswa paling solid dan terorganisasi sampai deklarasi Partai Keadilan (PK) yang berpartisipasi dalam Pemilu 1999.

Inilah fase balita dalam hidup PKS. Sesuai dengan namanya, sebagai balita, PK belum bisa bicara banyak dalam perolehan hasil pemilu. Pada 1999 itu, PK hanya mendapatkan 1,4 persen suara nasional.

Meskipun berstatus “partai balita” (partai di bawah lima tahun), PK berhasil menggebrak dan mewarnai “kanvas besar” politik Indonesia. Pada periode 1999-2004, dengan segelintir anggota DPR dan DPRD yang dimilikinya, PK banyak tampil di publik dengan cara dan tata laku politik yang dianggap kontras -setidaknya berbeda dalam arti positif- dengan politisi atau partai politik lain yang lebih dulu dikenal masyarakat Indonesia.

Aneka tata laku yang berbeda itu mulai demonstrasi partai yang tertib dan rapi, sikap antikorupsi, sampai aneka program pro-publik seperti bakti sosial bidang pendidikan, kesehatan, maupun bencana alam.

Dengan “diferensiasi politik” yang demikian, pada Pemilu 2004, PK yang harus berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendapatkan limpahan suara yang sangat signifikan. Suara PKS melonjak dari 1,4 persen menjadi 7,3 persen. Kenaikan suara itu mengakibatkan jumlah anggota DPR/DPRD asal PKS juga melonjak drastis.

Raihan suara yang signifikan di berbagai daerah juga meningkatkan peran politik PKS sehubungan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, baik dalam kapasitas sebagai kendaraan politik maupun mesin politik calon kepala daerah. Inilah saatnya sang partai balita menjadi partai remaja.

Dalam kamus psikologi perkembangan, masa remaja juga dikenal sebagai masa pancaroba -masa transisi- dari anak-anak ke dewasa. Pada masa itu, remaja mengalami banyak perubahan dan tantangan, baik biologis maupun psikologis.

Kondisi pancaroba itu juga terjadi pada PKS sebagai partai remaja. Kader-kader PKS yang duduk di pemerintahan -baik eksekutif maupun legislatif- adalah orang-orang baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah berkarir di pemerintahan. Sampai tataran tertentu, mereka masih “gagap” berpolitik, terutama berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik lain yang sudah lebih mapan.

Contoh-contoh kegagapan politik itu, antara lain, tampak pada kegagalan Fraksi PKS DKI Jakarta menjadikan kadernya sebagai ketua DPRD DKI Jakarta, padahal kursi PKS paling banyak di ibu kota provinsi. Begitu pula gonjang-ganjing politik yang dialami Nurmahmudi Ismail di Kota Depok. Di satu sisi benar bahwa gonjang-ganjing tersebut merupakan kelanjutan dari sengketa pada masa pilkada. Di sisi lain, hal itu juga menunjukkan kekurangterampilan Nurmahmudi sebagai representasi dari PKS untuk membangun konsensus politik dengan kekuatan politik lain. Padahal, dalam posisi sebagai kepala daerah, Nurmahmudi memiliki kapasitas dan sumber daya untuk membangun konsensus tersebut.

Namun, contoh kegagapan yang paling serius kiranya terletak pada berkembangnya pencitraan kekinian PKS sebagai partai yang eksklusif, hanya untuk, bahkan mengusung agenda agama tertentu. Bahkan, dalam pilkada di DKI Jakarta, dikembangkan isu PKS sebagai kelompok Taliban ala Indonesia. Di satu sisi, citra semacam itu mungkin merupakan produk manuver politik dari lawan-lawan politik. Namun, di sisi lain pencitraan tersebut mungkin berasal dari tingkah laku, sikap politik, dan atribut-atribut yang dipakai PKS dan kader-kadernya.

Citra atau atribusi negatif, apalagi “Talibanisme”, sangat tidak menguntungkan PKS, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, PKS akan kesulitan menambah suara, apalagi untuk menjadi partai terbesar di Indonesia, karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan multikultural. Dalam jangka panjang, citra semacam itu bisa menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial serta politik antara PKS dan kelompok-kelompok masyarakat yang lain.

Karena itu, menjadi menarik bagi kita mengamati kegiatan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS yang diselenggarakan di Bali pada 1-3 Februari 2008. Lebih menarik lagi bila kita melihat logo mukernas berupa lambang padi dan bulan sabit emas khas PKS diapit Candi Bentar. Diberitakan, peserta mukernas menggunakan “udeng” atau ikat kepala khas Bali, sementara mukernas itu akan dibantu pengamanan adat Bali. Timbul kesan kuat bahwa dengan pemilihan Bali sebagai tempat mukernas berikut semua atribut yang disebut tadi, PKS ingin membangun citra baru sebagai partai yang akomodatif, toleran, dan bersahabat dengan kelompok agama dan budaya mana pun di Indonesia, khususnya Bali yang didominasi masyarakat beragama Hindu.

Oleh Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta
(Jawapos, Sabtu, 02 Feb 2008)

Tidak ada komentar: