"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taaqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri (muslim)." (QS. Ali Imran ; 102).
Inilah persoalan besar yang harus diperhatikan setiap manusia, tapi sayang sekali banyak manusia yang mengabaikannya.
Dalam konsepsi Islam, mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi justru mati itu merupakan awal kehidupan yang panjang, yaitu kehidupan akhirat dan setiap kita pasti mengiginkan kebahagiaan di akhirat, karenanya di dalam berdo’a tak pernah kita melupakan mebaca "Rabbanaa aatina fiddunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaabannaar".
Berdo’a saja tidaklah cukup, kebahagiaan di akhirat juga harus dicapai dengan bekal pahala yang banyak dan untuk memperoleh pehalanya yang banyak berarti harus beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya. Meskipun begitu, ada perbuatan yang pahalanya akan terus diraih oleh orang yang beramal, mekipun ia sudah meninggal dunia. Dalam hal ini Rasulullah menunjukkan empat perkara sebagaimana sabdanya yang berbunyi :
"Ada empat perkara yang mengalir pahalanya setelah pelakunya meninggal dunia, yaitu, orang yang meninggal selagi giat-giatnya berjuang di jalan Allah, orang yang mengajarkan ilmunya, senantiasa mengalir pahala baginya, orang yang memberikan sadaqah akan mengalir shadaqah di mana saja shadaqah itu terletak dan orang yang meninggalkan anak yang shaleh dan anak tersebut selalu berdo’a untuk kebahagiaan." (Hr. Ahmad dan Thabrani).
Dari hadis di atas, empat perkara yang dimaksud adalah:
1. Mati syahid
Mati syahid adalah kematian yang dicapai tatkala seseorang tengah berjuang menegakan kalimat Allah. Begitu mulianya mati syahid sehingga seorang mu’min yang sebenar-benarnya, di manapun ia berada selalu mendambakannya. Para syuhada di dalam akhirat mendapatkan kenikmatan yang luar biasa, mereka pasti meraih syurga yang dijanjikan Allah, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka, mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an". (QS At-Taubah ayat 111).
Oleh sebab itu setiap kita seharusnya tidak segan-segan berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kalimat-Nya. Manakala seorang punya kedudukan, kesempatan dan kemampuan seharusnya dimanfaatkannya untuk itu.
2. Mengajar Ilmu
Ilmu adalah salah satu kunci dan bekal seseorang untuk mencapai kebenaran serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu untuk selanjutnya ilmu itu diamalkan demi tegaknya Al Haq (kebenaran). Salah satu cara mengamalkan ilmu adalah dengan mengajarkannya pada orang lain sehingga orang lain dengan memahami dan mengamalkan yang kita peroleh. Nabi SAW bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkannya" (HR. Muslim).
Ilmu itu hendaklah seperti air, ia selalu mengalir dan membersihkan yang kotor serta menyuburkan tanah yang tandus. Dengan mengajarkan ilmu diharapkan orang yang diajarkannya dapat menghilangkan sifat-sifat yang buruk dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik. Oleh sebab itu belajar dan mengajar dalam ajaran Islam mendapat keutamaan sendiri. Tapi bila seseorang tidak memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan, maka Allah menyediakan siksa untuknya. Nabi SAW, bersabda;
"Seberat-berat siksaan atas manusia pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak mengajarkan ilmunya." (HR Thabrani).
Karena orang yang tidak memanfaatkan ilmunya akan diazab Allah, kita juga jangan berpendapat; "kalau begitu lebih baik saya tidak punya ilmu saja dari pada tidak memanfaatkan". Padahal Allah justru akan mengazab orang-orang yang tidak mau tahu atau tidak mau menuntut ilmu.
3. Bershadaqah
Memperbanyak harta merupakan salah satu kesenangan manusia, Allah memang mempersilahkan manusia untuk mencari harta sebanyak mungkin, tapi dari sekian banyak harta yang didapatkan, sebagai muslim kita berkewajiban mengeluarkan sebagian kecilnya untuk kepentingan Islam serta ummatnya. Kasadaran ini harus terus dipupuk karena pembangunan Islam dan ummatnya tidak lepas dari keterikatan pada dana yang didapat dari kesadaran bershadaqah. Oleh sebab itu setiap muslim diwajibkan untuk mewujudkan kesadaran bershadaqah manakala ingin meraih kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Tapi bila tetap bermegah-megahan dengan harta dan tidak mau menshadaqahkannya, maka azab Allah menanti, sebagaimana firman-Nya:
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menhitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan kedalam huthomah, Dan tahukah kamu apa huthomah itu, (yaitu) api (yang disediakan) Allah, yang dinyalakan. Yang (naik) sampai ke hati." (QS al Humazah: 1 - 7)
Bila shadaqoh telah dikeluarkan, baik dalam bentuk uang maupun barang, maka orang yang mengeluarkannya manakala betul-betul ikhlas akan meraih pahala, sebab uang serta barangnya itu terus berguna bagi kepentingan Islam dan ummatnya.
4. Anak Yang Shaleh
Tiap orang yang menikah, pasti mengiginkan punya anak, dan tiap orang tua yang muslim, pasti ingin agar anaknya menjadi anak yang shaleh. Karena itu pagi siang, sore dan malam kita selalu berdo’a agar Allah menganugerahi keturunan yang shaleh. Namun dalam konsepsi Islam, anak yang shaleh itu bukan sekedar didambakan dan meraihnya hanya dengan do’a. Tapi RasuluLlah pernah menegaskan:
"Didiklah anak-anakmu dan perbagus adab mereka" (HR. Ibnu Majah)
Dengan begitu, orang tua yang ingin anaknya shaleh, seharusnya dialah yang mendidiknya secara langsung. Kalau kemudian ada lembaga pendidikan Islam. guru ngaji dan sebagainya yang ikut serta mendidik sang anak, itu hanyalah pelengkap, maka orang tua tidak boleh merasa kewajibannya mendidik anak telah gugur karena telah menyekolahkan anaknya di sekolah Islam atau memanggil guru ngaji ke rumah. Ini perlu dipertegas mengingat banyak orang tua yang berprinsip demikian.
Persoalan lain dalam hal pendidikan anak adalah, banyak orang tua yang seolah-olah kehabisan cara menghadapi anak-anaknya. Karena itu, perlu kita simak petunjuk Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya "Tarbiyatul Aulad Fil Islam". Beliau menyebutkan lima metode dalam mendidik anak. Pertama, mendidik dengan keteladanan, dalam arti orang tua harus memberikan teladan atau contoh yang baik kepada anak-anaknya, ini berarti, kalau orang tua ingin anaknya menjadi shaleh, orang tuanyalah yang harus lebih dulu shaleh.
Kedua, mendidik anak dengan pembiasaan yang baik, dalam arti orang tua harus menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik kepada anak-anaknya, orang tua tidak bisa pakai prinsip, "ah nanti juga kalau sudah besar mereka tahu mana yang baik dan mana yang tidak." Mungkin mereka bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk, tapi mereka tidak mampu melaksanakan yang baik dan meninggalkan yang tidak baik manakala tidak dibiasakan sejak kecil, inilah pentingnya membiasakan hal-hal yang baik kepada anak sejak anak itu kecil.
Ketiga, mendidik dengan mengajarkan ilmu pengetahuan dan dialog tentang berbagai persoalan. Dalam hal ini amat penting orang tua mampu menanamkan pengertian kepada anak-anaknya, dan dialog merupakan cara yang paling tepat, apalagi menghadapi anak yang sudah memasuki usia remaja. Namun sayang sekali, karena kesibukan orang tua, justru suasana yang dialogis jarang tercipta pada keluarga-keluarga kita sekarang ini.
Keempat, mendidik dengan memberikan pengawasan dan nasehat. Dalam era sekarang. Pengawasan dari orang tua terhadap anak-anaknya sangat diperlukan, sehingga orang tua tahu perkembangan jiwa atau kepribadian anaknya dari waktu kewaktu. Kalau orang tua tahu perkembangan jiwa anaknya, maka ia tahu nasihat apa yang harus diberikan kepada mereka.
Kelima, mendidik dengan memberikan hukuman, ini dilakukan bila cara-cara yang lemah lembut tidak membuat si anak berubah ke arah yang lebih baik. Namun menghukum anak tidak selalu dalam bentuk hukuman fisik, tapi lakukanlah dengan cara-cara yang sifatnya edukatif (mendidik), misalnya biasanya si anak di beri uang jajan sehari Rp. 500,- tapi karena si anak bagun tidurnya kesiangan dan tidak shalat shubuh, maka uang jajannya dipotong menjadi Rp. 250,- Tiap orang tua tentu lebih tahu, hukuman apa yang lebih tepat untuk anak-anaknya.
Dengan demikian, ternyata untuk meraih kebahagiaan di akhirat bukanlah persoalan sederhana, karena itu diperlukan keseriusan dan kesungguhan menunjukan identitas keislaman kita di manapun kita berada.
Drs. H. Ahmad Yani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar